Rabu, 02 Juni 2010

National Writing Competition

Dear Teman-teman....
Edisi pertama National Writing Competition (NWC) telah berakhir pada 31 Mei 2010.
Sebanyak 16 tulisan teman-teman dari CO, PU Grobogan, Kupang,
PU Lembata, Padang dan Surabaya telah dinilai oleh Tim Juri. Untuk edisi
pertama (Mei 2010), tim Juri diketuai oleh Budi Winarno, Redaktur
Pelaksana Harian Jurnal Nasional Jakarta.

Dengan bangga, Departemen Komunikasi mengumumkan pemenang EDISI PERTAMA
NWC 2010 adalah :


PEMENANG I : Sdr. Djuneidi Saripurnawan, Program Manager West Sumatera
Earthquake Response (Pak Erte, Loyalitas Seorang Pemandu
Sekaligus Sopir yang Piawai)

PEMENANG II: Sdr. M. Robbi Qawi, CTA PU Grobogan (Marching Band Cah
Ndeso).

Terlampir adalah hasil penilaian Tim Juri (versi Bahasa dan Inggris)
berikut dengan tulisan kedua pemenang.

Pemenang I berhak atas hadiah tas laptop dan sertifikat dari CD dan
diikutsertakan dalam Best of The Best untuk meraih grand prize pada
Januari 2011, sedangkan pemenang kedua mendapatkan sertifikat dari CD.
Kedua tulisan akan diterjemahkan oleh native dan dikirim ke story bank
RO dan IH.


Kami tunggu partisipasi teman-teman dalam NWC edisi kedua. Deadline pada
20 Juni 2010.

Terima kasih dan Salam....

Departemen Komunikasi,



PS. Pengumuman ini juga telah diumumkan di Facebook Plan Indonesia



“Pak Erte”
Loyalitas Seorang Pemandu
Sekaligus Sopir yang Piawai





Gempa Sumatera Barat, 30 September 2009
Peristiwa gempabumi di Sumatera Barat pada akhir tahun 2009, membawa langkah kakiku ke ranah minang ini. Sebelumnya tidak pernah terencanakan; pesan singkat (SMS) melalui mobile-phone dari Avianto Amri, seorang kawan staff Plan Disaster Management Specialist di Country Office Jakarta pada dini hari 1 Oktober 2009 ketika aku bersiap-siap berangkat ke Banda Aceh. Tujuan keberangkatanku berubah, setelah berkoordinasi dan persiapan di Country Office Jakarta, keberangkatanku ke Padang melalui Jambi, karena Bandara Udara Minangkabau ditutup akibat gempabumi.

Tiba di Jambi pada 2 Oktober 2009, bertemu dengan kawan-kawan WALHI Jambi yang kebetulan ada beberapa orang Sukarelawan yang akan berangkat ke Padang. Kami mempersiapkan segala logistik dan transportasi. Sebuah mobil jeep pun dibawa serta untuk mengantisipasi sulitnya medan jalan dari Jambi ke Padang. Perjalanan malam pun kami lalui tanpa hambatan, dan menjelang subuh kami tiba di Kota Padang (3/10/2010) yang terasa sunyi dari aktivitas kota. Di Kota Padang, sebagian bangunan nampak hancur dan retak-retak, orang-orang menyaksikan evakuasi di antara reruntuhan bangunan di pinggir jalan. Beberapa pertokoan bertingkat mengalami kehancuran di bagian bawah bangunan sehingga yang 3 tingkat menjadi 2 tingkat.
Kami tertambat di Hotel Sriwijaya di Alang Lawas, hotel kuno yang bangunannya kokoh teruji menghadapi gempa 30 September 2009. Adalah Ajun Khamdani, rekan kerja dari Plan Aceh yang tiba lebih dulu di Kota Padang, dan segera mencari tempat sebagai tempat operasi sementara untuk emergency response. Hotel ini menjadi rebutan para relawan kemanusiaan yang datang ke Padang, dari I/NGO , UN-Agencies, dan juga para jurnalis dari dalam dan luar negeri. Di saat seperti inilah perkenalan kami dengan Pak Erte. Ia membantu kami untuk mendapatkan kamar, setidaknya sebuah kamar untuk dapat istirahat. Pak Erte adalah panggilan popularnya, karena ia memang adalah seorang Bapak RT (Rukun Tetangga) yang sudah belasan tahun dipercaya oleh warga sekitarnya menjadi Ketua RT. Dan Hotel tersebut masuk dalam wilayah RT-nya. Namun dalam perjalanan dengan Tim Plan Indonesia, perjumpaannya dengan ibu Isni Ahmad (Communication Manager) memberikan panggilan baru baginya sebagai “Pak Rete”. Nama sebenarnya adalah Mirzal yang lahir di Bukittinggi, 52 tahun yang lalu (25 Maret 1958).

Awal Perjumpaan dengan Pak Erte

Pagi itu, 3 Oktober 2009 adalah hari rapid assessment untuk emergency responce di Sumatera Barat. Kami membutuhkan kendaraan dan seorang sopir yang siap disewa untuk menjelajah wilayah yang terkena dampak bencana gempa. Dikenalah seorang Pak Erte yang sangat dikenal di wilayah sekitar Hotel Sriwijaya di Alang Lawas dimana kami tinggal. Orangnya tidak tinggi, sekitar 150 cm, berperawakan gempal dengan kulit gelap (hitam) dan wajah yang keras. Pandangan matanya yang ‘berani’ membuatnya nampak terkesan seram bila masih belum mengenalnya lebih jauh. Penampilannya yang keras ternyata tidak sekeras sikap dan pergaulannya yang luwes dan dibuktikan dengan jaringannya yang luas.

Ia menawarkan jasa untuk membantu apa pun yang bisa ia lakukan. Mulai dengan menyewakan motornya. Kebutuhan akan sebuah mobil itu menjadi prioritas saat itu. Kembali ia menawarkan jasanya untuk mencarikan mobil yang dimaksud. Hari masih subuh dan embun malam membasahi dinding kaca jendela dan daun-daun tanaman bunga di sekitar hotel.
” Sanggup mendapatkan mobil untuk keliling ke wilayah yang terkena gempa?” tanyaku padanya.

”Siap pak! ,” jawabnya singkat tetapi tegas dan menunjukkan kesanggupan yang luar biasa, ”Sebentar ya Pak, jam berapa dibutuhkan? Berapa mobil? Dengan sopirnya atau tidak?”

Aku jelaskan bahwa kami butuh mobil itu beserta sopirnya untuk jam 9 pagi ini. Setelah selesai negosisasi harganya disepakati bersama, dan hanya dibutuhkan sebuah mobil---sementara para relawan akan menggunakan mobil dari WALHI Sumbar--- beserta sopirnya (untuk menghindari tanggungjawab atas kerusakan yang mungkin terjadi), maka Pak Erte segera bergegas pergi...

Matahari sudah mulai terik, waktu menunjukkan pukul 9 pagi, tetapi Pak Erte dan mobil itu belum nampak juga. Kami menikmati pagi itu dengan segelas teh manis dan lontong-sayur sebagai sarapan yang kemudian menjadi rutinitas selama tinggal di sana.

Hari sudah menunjukkan pukul 10 lewat, akhirnya kami putuskan untuk bergerak dengan mobil yang ada, jeep terpaksa dikerahkan untuk berjalan meskipun pemakaian bahan bakarnya luar biasa. Selepas perjalanan dari kompleks penginapan, kami bertemu kembali dengan Pak Erte yang mengabarkan bahwa mobil sudah diperoleh, hanya sopirnya yang tidak ada.

”Bagaimana kalau sopirnya saya saja Pak?” tiba-tiba ia menawarkan dirinya.
”Bapak bersedia menanggung kerusakan mobil bila terjadi di jalan?” tanyaku tegas.

”Oke lah Pak, tapi kita lihat juga kondisi jalan yang mungkin dilalui....” tambahnya.
”Yaaa jelas dong, kita juga ngak mau mempersulit diri...”
Upaya Pak Erte yang pertama dan masih kukenang ini ternyata berlanjut hingga sekarang, sudah 8 bulan berlalu. Orangnya tetap semangat untuk setiap kegiatan yang kami lakukan.

Emergency Response : Pelayanan 24 Jam

Keterlibatan yang kental dalam kegiatan Plan Indonesia West Sumatra Earthquake Response (WSER) pada masa-masa emergency response (2 bulan pasca gempabumi), hampir setiap waktu kami selalu bersama. Sejak sarapan pagi, kemudian ke lapangan, terlibat mengatur distribusi barang bantuan non-pangan (non-food items) dan menjaga kami dari situasi yang mungkin membahayakan. Keberuntungan kami (staff Plan) dalam melibatkannya adalah keberuntungan organisasi Plan Indonesia dalam proses respon bencana secepat-cepatnya untuk melayani para korban bencana gempabumi. Selama 2 bulan masa emergency response, aktivitas kami mendapatkan dukungan 24 jam setiap hari oleh Pak Erte.

”Kami siap sewaktu-waktu bapak membutuhkan saya untuk mengantar ke mana pun dibutuhkan, Pak.” kata Pak Erte. Dan ungkapan ini bukan omong kosong semata. Ketika aku harus menunggu kedatangan truk yang memuat barang bantuan di tengah malam hari, ia menemaniku sambil berbagi cerita. Aku baru tahu kalau ia sangat tahu rute perjalanan darat dari Jakarta ke Padang, karena ia juga mantan sopir truk. Sehingga perhitungan waktu perjalanan truk sudah tidak bisa dikelabui lagi, ketika ekspedisi truk bantuan banyak membohongi kami ketika memantau keberadaannya.

Berkat Pak Erte pula negosiasi dengan sopir truk bantuan bisa berjalan lancar dengan solusi yang cepat di lapangan. Persoalan atas alamat tujuan ekspedisi yang keliru sehingga sopir menuntut tambahan biaya untuk melanjutkan perjalanan ke daerah sasaran adalah persoalan yang semestinya tidak perlu terjadi bila bagian logistik memberikan alamat tujuan yang sudah dikonfirmasikan kepada staff di lapangan.

Bersama-sama dengan Pak Erte, kami menjadi tim yang solid untuk aksi cepat di lapangan. Kesiapsediaannya setiap waktu dibutuhkan berlangsung hingga sekarang. Dan sulit—untuk mengatakan tidak ada orang penggantinya—mendapatkan orang seperti Pak Erte. Pengalamanku menyewa mobil dan sopir lain untuk mendukung kegiatan projek di lapangan, apalagi ketika kedatangan para tamu dari berbagai negara asing dan staff Country Office, terjadi ketidakpuasan dalam pelayanannya: mulai dari tidak tahu arah jalan, tidak menguasai Kota Padang dan Pariaman, tidak tahu arah bandara udara, mengeluh jam kerja yang sudah berakhir, dan sampai pada hal-hal kecil seperti meninggalkan mobil dan tidak tahu dimana ketika dibutuhkan. Aku menyadari penuh bahwa Pak Erte adalah orang yang berperan penting selama ini. Tanpanya kami tidak bisa bergerak cepat untuk berkegiatan. Sekiranya puji syukur kami haturkan pada Yang Kuasa bahwa kami semua diberikan kesehatan selama di lapangan. Kami saling mengingatkan untuk minum air putih yang banyak...

Loyalitas yang Teruji

Ketika berbagai tawaran untuk menjadi sopir dari lembaga bantuan lainnya mulai disodorkan padanya, Pak Erte menjawab, ” Terimakasih sekali atas tawaran bapak, tetapi saya sudah bergabung dengan Plan. Kita sama-sama membantu kemanusiaan pak...” Belum cukup itu saja, tambahan penghasilan yang berlipat dan waktu kerja yang lebih pendek dari berbagai pihak tetap tidak membuatnya berpindah ke ”lain hati”. Dengan Tim Plan Indonesia, ia merasa sudah menjadi bagian ’keluarga’ Plan Indonesia sejak proses awal respons bencana dilakukan. Dan ini baginya adalah sesuatu yang sangat bernilai, pengalaman yang sangat berharga.

Loyalitasnya terhadap Plan Indonesia tidak sebatas itu saja, ia semacam duta Plan bagi orang-orang yang djumpainya. Baik di warung kopi, kedai, warung makan, parkiran, di pertokoan dan pasar. Perlu diketahui bahwa pasar di Kota Padang adalah wilayah kekuasannya sejak masa mudanya. Ia dikenal sebagai : “Urang Pasar“ yang menjaga keamanan pasar. Masa lalunya membuatnya sangat dikenal oleh orang di seputar pasar, dan ketika kami bersamanya mencari sesuatu barang di pasar itu dengan mudah mendapatkan barang yang dicari dengan harga yang paling pantas.

Ketika ia akan diakuisisi oleh ISS sebagai lembaga outsourcing untuk mendukung operasional kegiatan Plan Indonesia WSER, ia merasa tidak nyaman dan langsung mengajukan penolakannya.

“Untuk apa Plan membayar ISS, kemudian ISS membayar saya. Rugi dong Plan...?” katanya tegas.
”Enak di ISS mendapatkan keuntungan dari saya yang kerja untuk Plan...”
“Kenapa tidak langsung saja Plan yang mempekerjakan saya ?” tanyanya, ”Bukankah Plan tidak lebih rugi bila membayar saya langsung karena tidak lebih mahal daripada membayar ISS?”

Awalnya sulit untuk menjelaskan bahwa ada keuntungan yang diperoleh dari akuisisi ISS atas perannya sebagai driver, yaitu adanya asuransi kesehatan untuk Pak Erte dan istrinya. “Ya tidak apa-apa tidak ada asuransi itu, selama ini kita berkerja dengan Plan juga tidak ada asuransi itu, asalkan penghasilan cukup untuk orang rumah, tenang kita. 75 ribu per hari sudah cukup.”



“Kalau sakit itu kan sudah takdir,” jelas Pak Erte,”Selama ini juga baik-baik saja. Trus kemana itu duit kalau tidak dipakai untuk biaya berobat?”

Cara pandang Pak Erte begitu praktis dan masuk akal secara umum. Hanya ia tidak mengetahui bahwa Plan Indonesia secara organisasi juga mencari cara yang paling aman untuk menggunakan tenaga outsourcing untuk menghindari persoalan ketenaga-kerjaan dan tenaga kerja yang komplain sesuai dengan hak-haknya dalam
undang-undang tenaga kerja yang berlaku.
Tapi hal ini sudah menjadi kebijakan organsisasi
Plan Indonesia yang diterapkan terhadap semua Program Unit di seluruh Indonesia.

Tidak ada cara lain---meskipun bagi Pak Erte dibayar setiap hari 75 ribu rupiah adalah cara yang paling murah meriah--dan harus masuk ISS. Aku mencoba memberikan penjelasan panjang lebar dari waktu ke waktu, ya butuh waktu satu bulan lebih untuk membuatnya menerima kenyataan ini. Dengan pandangan mata yang masih kurang rela bila ia dinyatakan sebagai “staff ISS” daripada “staff Plan”. Aku mencoba memahaminya, dan mengatakan bahwa Pak Erte adalah Tim dari Plan Indonesia WSER sejak awal, dan ini adalah sejarah Plan Indonesia WSER yang tidak bisa tidak diakui oleh siapa pun yang ingin mengetahuinya. Perjalanan kita bersama...dan tidak ada yang merubah realitas bahwa kita masih berkegiatan bersama.

“Pak Erte tidak akan dilarang memakai kaos dan rompi Plan”, kataku yang disambutnya dengan senyuman kecil. “ Yang penting kita masih dalam satu Tim dan satu saudara...” Akhirnya beliau memahami situasi dan kondisi yang harus seperti ini, tetapi kita melaluinya dengan syukur dan senyum.

Kecintaannya terhadap Plan Indonesia

“Kalau boleh...nanti setelah tutup kantor Plan, papan nama Plan Indonesia WSER itu bapak bawa pulang ya?” tanya Pak Erte pada Mira Gusweni. Pagi itu, Pak Erte sudah mencuci mobil kantor yang menjadi tanggungjawabnya untuk merawat mobil kantor.
“Boleh aja Pak, asalkan tidak untuk dagang warung.”
Semua barang yang terkait dengan Plan Indonesia, bila memungkinkan akan menjadi koleksi di rumahnya. Mulai dari stiker, kaos, rompi, topi, gantungan kunci, dll.

”Mobil Ford ini nanti bila akan dikembalikan ke Jakarta biar saya saja pak yang membawanya.” katanya pada suatu saat mencuci mobil tersebut.
Apa yang membuat Pak Erte senang menjadi bagian dari Tim Plan Indonesia WSER?
”Bekerja dengan Tim Plan ini seperti keluarga sendiri, seperti tidak ada bawahan dan atasan, tetapi ada saatnya siapa yang harus didengar dan menjalankannya....” jawab Pak Erte,” Lain kalau ikut orang lain kerja, kita disuruh-suruh, makan saja cari sendiri dan tidak bisa akrab bercanda seperti dengan kawan-kawan di Plan, walaupun (staff Plan) masih muda-muda. Justru itu tambah senang aja...”
”Bukannya hidup ini untuk senang bersama....” tambah Pak Erte.
’Hidup ini untuk senang bersama....’ adalah impian universal dari makhluk hidup, khususnya umat manusia sadunyo, kata urang Minangkabau [djuneidi saripurnawan]











MARCHING BAND CAH NDESO

Love at First Sight

Deso Tenanan
Dua kata tersebut yang terbesit di benak memberikan representasi atas wajah desa yang segera akan di handing over kan kepadaku. Untuk memasuki desa ini Ku mesti melewati luasan tegakan jati, dengan badan jalan hanya seluasan satu motor. Tak tepat juga sich bila di bilang jalan, sebab motorku berjalan di atas tanah liat yang sedang menggeliat karena hujan. Sret-sret-sret, motor Honda win yang kami kendarai mengepot mencoba menjaga keseimbangan. “Syukurin kamu Wi” seloroh CTA (Community Transformation Agent) sebelumku sambil terkekeh, menekankan bahwa Aku akan mendapat penderitaan disini. Berhasil melewati tegakan jati ku harus melewati jalan-jalan berbatu koral. Hingga detik ini untuk jalan Desa Wates di Kecamatan Kedung Jati Kabupaten Grobogan belum tersentuh setetes pun aspal.

Jalan yang hancur, berjarak sekitar 30-40 km dari kota, untuk mendapatkan Koran harus berkendara 30 menit, air yang berbau-berwarna-berasa-berkapur, bahkan bila musim kering di desa ini akan kesulitan air. Tidak kemudian dengan keadaan tersebut Aku merasa ‘Betapa akan menderitanya Aku tinggal disini’. Pertama melihat bakal tempat tinggalku di desa, Aku langsung terpesona ‘ ini rumah impianku’. Sebuah rumah dari kayu dengan arsitektur rumah panggung, halaman luas dengan pepohonan hijau. Aku pun menyukai desa, akan kesejukannya, akan hangat mataharinya, akan keramahan warganya, akan adventuring alamnya. yup, Aku senang dan bersemangat untuk melAkukan perubahan di desa ini.

Priority Program?

“Apakah ini prioritas mas?” keluhku kepada mas Widodo selaku CTA Desa Wates. Aku yang datang ke sini dengan membawa semangat perubahan untuk desa, jelas terkejut kaget melihat dokumen proposal pengajuan dari masyarakat yang meminta alat-alat Marching Band dan itu di kabulkan oleh PLAN. Kulihat pemandangan yang kontras pada foto dukemen kegiatan, yaitu berbagai alat marching band (simbal, bass drum, dll) bersandar di sebuah rumah yang terbuat dari kayu (yang seringkali kita definisikan gubug). Menurutku belum saatnya mereka medapatkan hal tersebut karena bahkan di Kota pun marching band adalah sesuatu peralatan yang tidak sembarang orang atau instansi mempunyainya. Dana program lebih baik menyentuh hal-hal yang itu sifatnya primer bagi masyarakat, itu prinsipku.

Program-program yang di berikan oleh PLAN seringkali tidak based on need of community sekalipun proposal di ajukan oleh masyarakat. Actually, needy of community based on budget that we allocate! Terbalik toch logikanya? Seharusnya budget akan menyesuaikan atas apa yang di kehendaki dan menjadi penting bagi masyarakat. Hal di ataslah yang menjadi perang pemikiran selama Aku melakukan orientasi lapangan terhadap berbagai program PLAN yang telah terlaksana di Desa.

Bagaimana Marching Band- nya Mas ?

Monitoring terhadap program yang telah di jalankan oleh PLAN menjadi prioritas yang akan Aku lakukan pada bulan-bulan awal amanahku sebagai CTA di Desa Wates. Monitoring terhadap program akan menjadi evaluasi bagiku untuk menjalankan program pada kesempatan Aku yang akan menjadi manajer di desa. Marching Band menjadi prioritasku untuk di monitor. Aku tidak yakin dan pesimis alat-alat yang telah di berikan oleh PLAN dengan anggaran belasan juta tersebut dapat bermanfaat bagi warga atau setidaknya benar-benar di manfaatkan. Asumsiku program ini akan mubazir dan bila asumsi ku benar, tentu saja tahun anggaran berikutnya Aku tidak akan mengabulkan permohonan dana pada hal-hal yang sejenis.

Mas Khanif adalah warga yang mengajukan program marching Band ini, untuk monitoring nya tentu saja yang aku lakukan adalah bertanya padanya.
“ Bagaimana marching band-nya Mas?”.
“ Belum jalan mas, kita masih cari pelatih”
Apakah jawaban tersebut akan menjadi jawaban yang selamanya akan aku dengar ketika aku bertanya perihal marching band?. “ Oke mas, beritahu Aku bila sudah ada perkembangan” demikian pintaku kepada mas Khanif.

Sebulan ku tunggu dari kali pertama ku bertanya, tapi pemberitahuan itu tak kunjung hadir. Berarti Aku yang harus pro aktif untuk bertanya.
“ Bagaimana marching band-nya mas?”
“ Belum siap latihan, nanti mas Qowi tak beritahu kalau sudah siap”
Tak lama berselang dari hari Aku bertanya tersebut, tak sengaja bertemu dengan mas khanif, beliau mengabarkan “nanti sore kita latihan mas!”. Mendapat kabar tersebut Aku tak lantas bersemangat, sebab hari tersebut adalah jumat. Hari ketika kami para pegawai CTA Plan untuk keluar dari desa, menaruh motor di kantor, pulang ke kampong masing-masing dan siap menikmati libur pada hari sabtu-minggu.
“ lain waktu dech Mas, sore ini Aku sudah gak di desa.
Ternyata tim Marching Band senantiasa latihan pada jumat sore. Alhasil, lain waktu yang Aku katakan kepada Mas Khanif bulan demi bulan berlalu tapi tak kunjung terealisasi.

Hari Pembuktian

Jumat hari ini berbeda dengan jumat biasanya, pada umumnya sebelum waktu Jumat Aku sudah keluar dari desa untuk kemudian menunaikan Shalat Jumat di masjid dekat kantor. Hari ini adalah Jumat Kliwon, hari yang di identikkan dengan hari yang menyeramkan. Justru pada hari tersebut adalah hari pertemuan rutin salapanan (tanggalan jawa), Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Desa Wates. Kelompok Tani desa wates merasa begitu berhutang budi terhadap Plan, sebab dari dana bantuan Plan-lah sarana irigasi pertanian di desa mereka terbangun. Sejak irigasi terbangun, petani dapat menanam padi hingga 3x dalam setahun. Dengan alasan tersebut, tentu saja mereka ingin terus menjalin hubungan baik dengan Plan. Oleh karenanya Aku sebagai CTA Plan desa wates di minta untuk hadir. Aku menyatakan kesedian untuk dapat hadir pada pertemuan tersebut yang akan di laksanakan pada pukul 14.00-16.00 WIB.

Saat acara masih berlangsung yaitu acara lain-lain sekitar pukul 15.30, telinga ku mendengar sesuatu dari arah luar. Bunyi drum, bunyi simbal, bunyi ting-ting. Aku pun sontak berdiri merespon spontan keramaian tersebut. Terlihat Segerombolan anak-anak laki dan perempuan berumur 11-15 tahun memainkan alat marching band.

“dung dung dung dung dung, dung dung dung dung dung dung..dung dung dung-dung dung dung dung”

Sebuah irama lagu wali band berjudul “Cari Jodoh” mengalun dari alat-alat musik yang mereka mainkan. Melihat anak-anak yang kreatif Aku tentu saja senang dan tersenyum melihatnya. Untuk hal ini Aku bukan hanya senang dan tersenyum, tetapi juga bangga dan bersemangat. Alat-alat yang mereka mainkan adalah alat bantuan dari Plan.
Hari ini adalah kali pertama anak-anak tersebut mencoba untuk melakukannya sambil berjalan. Aku menilai mereka sudah luar biasa! Sambil berjalan mereka sudah membuat nada yang berirama sekalipun langkah kaki yang masih belum serempak dan ketukan yang kadang terlewat.

Aku menemui Pak Syahid selaku pembimbing dari tim marching band, beliau berjalan mengikuti di barisan belakang para peserta yang berlatih. Kami berbincang mengenai perkembangan tim marching band sambil menikmati alunan dung-dung yang dimainkan. “Alhamdulillah mas Qowi, seperti inilah perkembangannya”, tidak lupa beliau mengucapkan terima kasih sebab tanpa Plan, mimpinya untuk mengembangkan kreatifitas anak-anak lewat marching band tidak akan terwujud. Beliau juga bercerita ada beberapa alat tambahan yang mereka penuhi dengan dana swadaya.
Wates adalah desa yang tidak berkembang kelompok anaknya, di banding desa-desa dampingan Plan lainnya di PU Grobogan yang memiliki teater ataupun radio anak. Aku hari ini ingin berkata “ WATES TELAH PUNYA, MAS-MBA”. “ Pak Syahid, tolong perkembangannya di deskritifkan kepada Saya dalam bentuk tulisan. InsyaAllah bila melihat seperti ini, Saya siap untuk terus mendukung perkembangan kreatifitas anak-anak Wates untuk marching band. Kalau butuh apa-apa, bilang Saya Pak”. Saya tambahkan juga “ Kalau Plan akan ada acara Saya akan mengajukan ke kantor untuk tim ini tampil. Siap gak Pak?”. “Siap donk” Pak Syahid menjawab dengan tersenyum, melihat responku yang bersemangat dan optimis terhadap perkembangan kelompoknya.

Orang-orang wates yang rumahnya di lewati marching mereka terlihat heboh, bergembira, karena mendapatkan sebuah hiburan. Desa menjadi semarak dan anak-anak bergembira. Lucu pikirku, ada sebuah marching band di sebuah desa tertinggal nan pelosok di tengah rimbunan hutan jati. Namun, hari ini ku belajar suatu hal, pengembangan kreatifitas anak adalah hak bagi anak di seluruh pelosok dunia yang tidak tersekat oleh definisi kota ataupun desa.
Esok ku akan minta anak-anak SC wates untuk menuliskan surat kepada SP mereka…

“ Bapak/ Ibu, Mr/Mrs, lihat, Aku bisa main marching Band loch”

Biodata Penulis
Nama : M. Robbi Qawi (Qawi)
Posisi : CTA PLAN GROBOGAN (Per 18 Januari 2010)
Lokasi : Desa Wates
CP : 081288229956/ 085727970095
Email : mr.qawi@yahoo.com









Penilaian NWC Plan Indonesia :

1. Secara umum teknik penulisan jurnalistik belum dipahami oleh seluruh peserta, mulai dari pemilihan judul hingga body teks. Hal ini menyebabkan cara bertutur menjadi tidak fokus, jumping, tidak menganut prinsip piramida terbalik sehingga kurang menarik bagi audiens.

2. Key messages dalam tulisan tidak kuat muncul sebagai pesan yang disampaikan, padahal jika membaca karya jurnalistik miulai dari judul dan hanya pada paragraf pertama sudah bisa menggambarkan apa yang akan disampaikan kepada pembaca.

3. Namun minat dalam menulis sudah sangat bagus karena eksplorasi tulisannya lengkap

4. Perlu klinik jurnalistik

5. Ada 2 peserta yang menonjol dalam hal pemilihan judul, teknis penulisan, pemuatan kutipan dan dialog, ada lead yang menarik dan ending yang mengejutkan, dengan ini saya pilih pemenang pertama adalah Sdr. Djuneidi Saripurnawan (Pak Erte, Loyalitas Seorang Pemandu Sekaligus Sopir yang Piawai) dan pemenang kedua Sdr. M. Robbi Qawi (Marching Band Cah Ndeso). Berdasar kriteria penilaian secara jurnalistik, mohon maaf, tidak ada pemenang ketiga.

6. Demikian, semoga untuk kompetisi putaran selanjutnya menghasilkan penulis-penulis yang andal dan karya jurnalistik yang lebih menarik bagi Plan.


Salam,

Budi Winarno
Redaktur Pelaksana
Harian Jurnal Nasional





Observations on NWC Plan Indonesia :

1. In general the journalistic writing technique has yet to be understood by all the participants (starting from the selection of titles through body text). This made story telling unfocused and jumping. They did not use inverted pyramid principle, making the story telling less interesting to audience.

2. Key messages in the articles were not strongly presented, not in the titles nor the lead/ first paragraph.

3. However, the writing interest was so high with in-depth writing exploration

4. Needs journalistic clinic.

5. Two participants were excellent in selecting titles, writing technique, quotes and dialogs. They used interesting leads and shocking endings. So I decided to nominate Djunaedi Saripurnawan with the article Pak Erte, Loyalitas Seorang Pemandu Sekaligus Sopir yang Piawai as the first winner and M. Robbi Qawi with the article Marching Band Cah Ndeso as the runner up. Based on the journalistic criteria, please apologize that there is no third winner.

6. I hope I can see more interesting pieces of journalistic writing for Plan.


Salam,

Budi Winarno
Editor in Chief
Harian Jurnal Nasional

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.